Sejarah asal mula Banjarmasin

Di Kalimantan Selatan, wayang Banjar diperkirakan mulai dikenal antara abad 13 atau 14, tepatnya di Kerajaan Nagara Dipa, Amuntai (Hulu Sungai Utara). Dalam buku Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005), disebutkan bahwa wayang Banjar berinduk pada wayang Purwa di Jawa. Mengenai hal ini, terdapat beberapa versi seputar asal-usul wayang Banjar.
Informasi tertulis tentang masuknya wayang kulit purwa ke Banjarmasin terdapat dalam Hikayat Lambung Mangkurat. Di situ diceritakan, begitu Raden Sekar Sungsang beranjak dewasa, anak Kabu Waringin dari Kerajaan Dipa itu pun pergi ke pulau Jawa. Selama di perantauan, ia dengan rajin mempelajari berbagai seni budaya setempat, antara lain: seni wayang kulit purwa, tari topeng dan karawitan. Setelah dirasa mampu menguasai ketiga kesenian tersebut, Sekar Sungsang lalu kembali ke Banjarmasin dengan membawa segala peralatan pendukung, seperti satu tabela (peti) wayang, satu tabela topeng, plus satu pajak (set) gamelan.
Tak lama berselang setelah tiba di Banjarmasin, Sekar Sungsang pun mulai mengembangkan kemampuan seninya. Langkah pertama yang dilakukan Sekar Sungsang, yakni mengajarkan seni karawitan. Saat dianggap sudah terampil, barulah ia mempergelarkan seni wayang kulit purwa.
Jika merujuk pada referensi di atas, berarti Raden Sekar Sungsang-lah orang yang pertama kali membawa sekaligus memperkenalkan wayang kulit purwa ke Tanah Banjar. Sayangnya, dalam literatur tersebut tidak dijelaskan, apa motivasi sebenarnya R. Sekar Sungsang ke Jawa, dan kerajaan mana yang menjadi tujuannya, serta yang tak kalah penting ialah kepada siapa dia belajar kesenian dimaksud?
Sedangkan Suwedi Montana, yang mengutip dari Hikayat Banjar, mengatakan ada tiga episode yang berkenaan dengan pertunjukan wayang maupun pemberian upeti berupa
wayang . Pertama, episode ketika Lambung Mangkurat datang ke Majapahit dengan maksud mencari calon mempelai laki-laki bagi Putri Junjung Buih. Kala itu ia disambut dengan berbagai pertunjukan, di antaranya wayang wong, wayang purwa, dan wayang gedog. Kedua, episode perkawinan antara Pangeran Suryanata dari Majapahit dengan putri Junjung Buih di Nagara Dipa. Dalam perhelatan tersebut, diramaikan dengan pertunjukan tujuh hari tujuh malam, di antaranya bawayang wong, bawayang gadogan, dan bawayang purawa.
Ketiga, episode ketika Ki Mas Lalana memberikan hadiah beraneka macam barang kepada Raja Putri Kalungsu, di antaranya terdapat wayang gadogan, wayang purawa, dan wayang topeng, masing-masing berjumlah setabela (satu peti). Sebetulnya Ki Mas Lalana adalah putra Putri Kalungsu itu sendiri yang minggat saat masih berumur 6 tahun lantaran kepalanya dipukul oleh ibunya dengan senduk juwadah. Ia pergi ke Surabaya dan setelah dewasa kembali ke Negara Dipa, ikut bersama Dampuawang. Ia bersedia dikawinkan dengan Putri Kalungsu, tapi berujung tragedi yang mirip dengan cerita Sangkuriang di Jawa Barat.
Ada lagi pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya wayang ke Banjarmasin terjadi pada zaman Demak. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, Khatib Dayan sengaja diutus ke Kerajaan Banjar untuk mengislamkan Raden Samudera — yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah — dan penduduk Banjarmasin. Hal itu merupakan syarat yang diajukan Demak untuk memberikan bantuan melawan Pangeran Tumenggung. Dalam proses islamisasi yang diikuti oleh kekuatan militer itu bukan mustahil mereka juga membawa seni pertunjukan wayang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Banjarmasin

Hikayat Putri Junjung Buih

Putri Junjung Buih